Minggu, 22 Desember 2013

Disinilah Aku


Oleh : Ayu Herlina
Desaku yang ku cinta
Pujaan hatiku
Tempat ayah dan bunda
 Dan handai taulanku
Tak lupa aku selalu mengucap syukur dikala aku masih diberi kesempatan oleh-Nya untuk membuka mata dan memandangi semua ciptaan-Nya yang ada di sekelilingku. Pagi ini, cuaca mendung menyapa desaku, sehingga udaranya terasa lebih dingin. Seperti biasa, ku buka jendela kamarku dan ku nikmati udara yang menggelitik tubuh yang bermaksud untuk menyapaku.
Segera ku langkahkan kaki keluar rumah dan tak sabar untuk berjumpa dengan sahabatku, Deina. Ku kayuh sepedaku dengan perasaan riang. Ku nikmati hijaunya rerumputan sawah yang mampu menentramkan hatiku. Dari kejauhan, terdengar suara yang bersahabat menyapaku.
“Hai.. Ayu!” sapa Deina.
“Seperti suara yang tak asing bagiku” kata hatiku sambil tersenyum. Lalu aku segera mengayuh sepedaku untuk mendekati sumber suara itu. Seperti yang kuduga itu adalah suara Deina.
“Sedang apa kamu disini? Mau mencariku yaa?” kata Deina sambil menunjukkan senyum mautnya.
“Huu, dasar..! Pede tingkat internasionalnya kambuh lagi nih. Apa mau aku jungkir balik sambil bilang ‘Waw’ gitu?” kataku sambil tertawa.
“Hii....? gak segitunya kali. Terus kalo bukan nyari aku, hayoo.. kamu mau ngapain?” kata Deina sambil cemberut.
“Hehehe.. iya deh, iya. Cup.. cup.. cup jangan nangis. Aku kesini mau nyariin kamu, kok. Udah kangen tau..” kataku sambil tersenyum dan menjulurkan lidah.
“Yeaahh, sudah ku duga! Itu adalah jawaban yang ku tunggu-tunggu” Katanya sambil riang.
Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba sesosok perempuan muncul  dari dalam rumah. Perempuan itu berbicara dengan Deina.
“Deina, bisakah kamu membantu ibu untuk bersawah hari ini?” belum sempat melanjutkan pembicaraannya, Ibu Deina baru menyadari bahwa ada aku disana.
“Ehh,, ternyata ada Ayu disini” katanya lagi.
Aku hanya menjawabnya dengan senyuman sebagai isyarat bahwa aku mengatakan iya.
“Bisa, bu. Biar ku bantu membawakan peralatan-peralatannya” jawab Deina kepada ibunya. Dan Deina lalu menoleh kearah ku sebagai isyarat apakah aku mau ikut atau tidak. Lalu, aku tersenyum sambil mengangguk. Aku segera memarkirkan sepedaku di samping rumahnya.
       Sampailah kami di sawah yang berukuran cukup luas itu. Aku mulai membantu Deina dan ibunya untuk menanam padi. Keringat mengguyur tubuh kami. Tak terasa semuanya telah selesai. Ibu Deina pulang duluan untuk mengurus pekerjaan lain. Hingga tinggal lah aku dan Deina yang masih duduk di tepi sawah sambil memandangi indahnya desa. Kami terdiam sejenak dan berpandangan sambil tersenyum. Aku dengan sigap mencubit pipinya, lalu kemudian berlari meninggalkannya sambil berkata “Satu-kosong, hehe”. Deina yang tadi mukanya kaget berubah menjadi jengkel. Kemudian Deina berlari menyusulku sambil berkata “Awass ya...!”
       Berlari... berlari.. dan berlari. Nafas kami yang ngos-ngosan memaksa kami untuk menghentikan semuanya. Dan hingga akhirnya kami berhenti di suatu tempat. Yang tadinya kami memasang wajah kelelahan kini berubah menjadi takjub dengan sesuatu hal. Tempat yang tak pernah kami temui sebelumnya. Tempat yang tak pernah terduga. Yang selama ini kami anggap hanya ada pada negeri dongeng saja. Aliran air dari atas tebing yang membentur batu dibawahnya, bebatuan yang bentuknya indah, dan kicauan burung merdu seakan menyambut gembira kedatangan kami. Pesona air terjun itu mampu membuat kami termenung memandanginya.
“Waahh.. Kau lihat itu, Deina? “ tanyaku sambil berdecak kagum.
“Hmm.. Sangat jelas sekali! Sungguh, betapa indahnya Air terjun itu, yu!” Jawabnya.
Lalu, kami berdua saling berpandangan dan saling mengangguk, seakan tahu apa yang akan dilakukan. Dan aku mulai menghitung angka.
“Satu, dua, tigaa.. Ayoookkk!”
Kami pun mulai berlarian mendekati air terjun itu. Air yang dingin menyentuh kaki kami.
“Ayu....” panggil Deina dengan nada riang.
Aku secara refleks segera menoleh ke arah Deina. Tiba-tiba ku dapati percikan air yang dingin itu mengenai wajahku.
“Satu sama” kata Deina sambil menjulurkan lidahnya.
Dengan pasrah aku menjawab “Ehhh, awas kamu ya! Tak balas nanti”.
Sambil memainkan air, kami tak henti-hentinya tertawa riang.
Tak terasa, tugas sang surya menyinari bumi akan segera berakhir hari ini. Dan sang malam dengan siap menggantikan tugasnya. Kami pun segera pulang dan meninggalkan tempat itu. Di sepanjang perjalanan, aku tak henti-hentinya tersenyum, membayangkan semua itu. Aku bersyukur kepada Tuhan, karena telah memperlihatkan salah satu bentuk keindahan yang telah diciptakan-Nya di desaku. Aku juga tak henti bersyukur karena mempunyai sahabat seperti Deina. Dan yang terpenting...., aku mempunyai desa yang mampu membuat hidupku merasa lebih berarti dengan semuanya. “Disinilah aku, kehidupanku, dan desaku” ujarku dalam hati sambil tersenyum lepas.
      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar