Oleh : Ayu Herlina
Desaku yang ku cinta
Pujaan hatiku
Tempat ayah dan bunda
Dan handai taulanku
Pujaan hatiku
Tempat ayah dan bunda
Dan handai taulanku
Tak lupa aku selalu mengucap syukur dikala aku
masih diberi kesempatan oleh-Nya untuk membuka mata dan memandangi semua
ciptaan-Nya yang ada di sekelilingku. Pagi ini, cuaca mendung menyapa desaku,
sehingga udaranya terasa lebih dingin. Seperti biasa, ku buka jendela kamarku
dan ku nikmati udara yang menggelitik tubuh yang bermaksud untuk menyapaku.
Segera ku langkahkan kaki keluar rumah dan tak
sabar untuk berjumpa dengan sahabatku, Deina. Ku kayuh sepedaku dengan perasaan
riang. Ku nikmati hijaunya rerumputan sawah yang mampu menentramkan hatiku.
Dari kejauhan, terdengar suara yang bersahabat menyapaku.
“Hai..
Ayu!” sapa Deina.
“Seperti
suara yang tak asing bagiku” kata hatiku sambil tersenyum. Lalu aku segera
mengayuh sepedaku untuk mendekati sumber suara itu. Seperti yang kuduga itu
adalah suara Deina.
“Sedang
apa kamu disini? Mau mencariku yaa?” kata Deina sambil menunjukkan senyum
mautnya.
“Huu,
dasar..! Pede tingkat internasionalnya kambuh lagi nih. Apa mau aku jungkir
balik sambil bilang ‘Waw’ gitu?” kataku sambil tertawa.
“Hii....?
gak segitunya kali. Terus kalo bukan nyari aku, hayoo.. kamu mau ngapain?” kata
Deina sambil cemberut.
“Hehehe..
iya deh, iya. Cup.. cup.. cup jangan nangis. Aku kesini mau nyariin kamu, kok.
Udah kangen tau..” kataku sambil tersenyum dan menjulurkan lidah.
“Yeaahh,
sudah ku duga! Itu adalah jawaban yang ku tunggu-tunggu” Katanya sambil riang.
Belum
sempat aku menjawab, tiba-tiba sesosok perempuan muncul dari dalam rumah. Perempuan itu berbicara
dengan Deina.
“Deina,
bisakah kamu membantu ibu untuk bersawah hari ini?” belum sempat melanjutkan
pembicaraannya, Ibu Deina baru menyadari bahwa ada aku disana.
“Ehh,,
ternyata ada Ayu disini” katanya lagi.
Aku
hanya menjawabnya dengan senyuman sebagai isyarat bahwa aku mengatakan iya.
“Bisa,
bu. Biar ku bantu membawakan peralatan-peralatannya” jawab Deina kepada ibunya.
Dan Deina lalu menoleh kearah ku sebagai isyarat apakah aku mau ikut atau
tidak. Lalu, aku tersenyum sambil mengangguk. Aku segera memarkirkan sepedaku
di samping rumahnya.
Sampailah kami di sawah yang berukuran
cukup luas itu. Aku mulai membantu Deina dan ibunya untuk menanam padi.
Keringat mengguyur tubuh kami. Tak terasa semuanya telah selesai. Ibu Deina
pulang duluan untuk mengurus pekerjaan lain. Hingga tinggal lah aku dan Deina
yang masih duduk di tepi sawah sambil memandangi indahnya desa. Kami terdiam sejenak
dan berpandangan sambil tersenyum. Aku dengan sigap mencubit pipinya, lalu
kemudian berlari meninggalkannya sambil berkata “Satu-kosong, hehe”. Deina yang
tadi mukanya kaget berubah menjadi jengkel. Kemudian Deina berlari menyusulku
sambil berkata “Awass ya...!”
Berlari... berlari.. dan berlari. Nafas
kami yang ngos-ngosan memaksa kami untuk menghentikan semuanya. Dan hingga
akhirnya kami berhenti di suatu tempat. Yang tadinya kami memasang wajah
kelelahan kini berubah menjadi takjub dengan sesuatu hal. Tempat yang tak
pernah kami temui sebelumnya. Tempat yang tak pernah terduga. Yang selama ini kami
anggap hanya ada pada negeri dongeng saja. Aliran air dari atas tebing yang
membentur batu dibawahnya, bebatuan yang bentuknya indah, dan kicauan burung
merdu seakan menyambut gembira kedatangan kami. Pesona air terjun itu mampu
membuat kami termenung memandanginya.
“Waahh..
Kau lihat itu, Deina? “ tanyaku sambil berdecak kagum.
“Hmm..
Sangat jelas sekali! Sungguh, betapa indahnya Air terjun itu, yu!” Jawabnya.
Lalu,
kami berdua saling berpandangan dan saling mengangguk, seakan tahu apa yang
akan dilakukan. Dan aku mulai menghitung angka.
“Satu,
dua, tigaa.. Ayoookkk!”
Kami
pun mulai berlarian mendekati air terjun itu. Air yang dingin menyentuh kaki
kami.
“Ayu....”
panggil Deina dengan nada riang.
Aku
secara refleks segera menoleh ke arah Deina. Tiba-tiba ku dapati percikan air
yang dingin itu mengenai wajahku.
“Satu
sama” kata Deina sambil menjulurkan lidahnya.
Dengan
pasrah aku menjawab “Ehhh, awas kamu ya! Tak balas nanti”.
Sambil
memainkan air, kami tak henti-hentinya tertawa riang.
Tak terasa, tugas sang surya menyinari bumi akan
segera berakhir hari ini. Dan sang malam dengan siap menggantikan tugasnya.
Kami pun segera pulang dan meninggalkan tempat itu. Di sepanjang perjalanan,
aku tak henti-hentinya tersenyum, membayangkan semua itu. Aku bersyukur kepada
Tuhan, karena telah memperlihatkan salah satu bentuk keindahan yang telah
diciptakan-Nya di desaku. Aku juga tak henti bersyukur karena mempunyai sahabat
seperti Deina. Dan yang terpenting...., aku mempunyai desa yang mampu membuat
hidupku merasa lebih berarti dengan semuanya. “Disinilah aku, kehidupanku, dan
desaku” ujarku dalam hati sambil tersenyum lepas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar